Soal No.78 Literasi Bahasa Indonesia
Beberapa detik setelah Sunu membuka pintu dengan kunci dari pemilik rumah, terdengar derit engsel yang sudah berkarat. Di hadapan kami terbentang sebuah ruangan yang sangat luas dengan lantai yang tampaknya tak pernah disapu berbulan-bulan; beberapa kursi yang berserakan nampak lapuk busuk karena terkena bocoran air hujan di beberapa titik. Ada dua buah jendela panjang menghadap ke teras dan dua jendela pada setiap sisi kiri dinding. Sebagian besar kaca jendela itu sudah pecah. Sebelah kanan dinding juga terdiri atas satu jendela yang sudah rusak dan sia-sia. Alex yang selalu berbicara dengan kameranya mulai memotret setiap pojok, setiap jengkal lantai dengan kotoran setebal dua sentimeter, setiap pintu dan jendela yang menurut Sunu terbuat dari kayu jati itu. Aku merasa Alex memutuskan merekam sudut rumah yang menarik hatinya sebelum Gusti yang matanya seperti lensa itu melampauinya. Persaingan kedua mahasiswa yang bercita-cita merekam dunia ini sering merepotkan kami. Alex amat hemat dalam merekam, tapi sekali jadi: hasilnya amat jitu dan tajam. Jika Alex terlihat emosional hingga terekam pada foto-fotonya sehingga aku cenderung lebih mnyukai karyanya - maka Gusti yang pendiam itu mengirim rasa misteri, berjarak dan dingin terhadap subjek yang direkamnya. Jika Alex cukup menghabiskan setengah rol film untuk satu peristiwa, Gusti bisa menggunakan beberapa rol.
Terdengar lenguhan Daniel yang mencoba menebak-nebak manusia di zaman apa yang terakhir menempati rumah itu. Mungkin zaman Belanda, katanya bersungut-sungut menjawab pertanyaannya sendiri. Atau mungkin zaman batu, demikian ia menambahkan. Kinan asyik mengamati tembok kotor yang sudah tak jelas warnanya, atau krem atau cokelat jorok. Sunu bergumam, dan hanya aku yang bisa mengerti apa kata-kata yang dikeluarkan di antara sepasang bibirnya yang jarang bicara itu: Kita bisa berpatungan untuk membeli cat. Kinan seolah tak mendengar ucapan Sunu atau lenguhan Daniel yang mirip suara kerbau karena lebih sibuk mengusap-usap tembok seolah permukaan tembok kotor itu adalah hamparan kain sutera.
"Ruang besar ini bisa kita gunakan untuk tempat diskusi. Pasang tikar saja," aku coba mengatasi suara gerundelan Daniel yang kini mencoba menyodok-nyodok sarang laba-laba di pojok plafon dengan menggunakan sebatang kayu yang semula tergeletak di pojok ruangan. Sunu keliahatan tak peduli komentar Daniel. Dia membuka pintu ruangan yang terletak tepat di sisi kiri belakang. Aku membuntuti Sunu dan rasanya kami sama-sama langsung tahu ruangan besar itu harus kami sulap menjadi sekretariat, tempat kami kelak melakukakan kegiatan administratif untuk diskusi dan rencana gerakan. Gerakan mahasiswa Winatra sudah dideklarasikan secara serentak di beberapa kota. Kaki rasanya gatal jika kami hanya berdiskusi sepanjang abad tanpa melakukan tindakan apa pun.
Gambaran karakter tokoh aku yang sesuai dengan isi bacaan adalah ...